Tak Betah Di Rumah Mertua | Cerpen Menyentuh Rasa

KENAPA MENANTUKU TAK MAU TERUS  TINGGAL SATU ATAP DENGANKU? APA SALAHNYA COBA?


Ranita melihat ada Aliya duduk di teras bersama  ibu mertuanya. Mereka terlihat tertawa cekikikan. Obrolan mereka tampak seru sekali.

"Mau ngapain wanita itu ada di sini?" tanya Ranita dalam hati.

"Assalammualaikum!" 

"Waalaikumsalam! Lah, udah pulang kamu Ran?" tanya ibu mertuanya.

"Sudah Bu."

Arif keluar dari dalam rumah, menyajikan teh di atas meja. Kening Ranita mengerut. Jarang-jarang suaminya itu mau membuatkan teh. Jangankan untuk orang lain, untuk dirinya sendiripun biasanya harus Ranita yang membuatkan.

"Ranita, kenalin ini Aliya. Temannya Arif  waktu SMA dulu. Dia ini udah dosen loh. Lulusan S2. Malah rencananya mau ngambil S3. Iyakan, Al?"

"Iya Bu. Doakan saja semoga S3 saya nanti lancar."

"Duh, dulu itu ya Aliya. Saya pengennya punya menantu yang seperti kamu ini. Pinter dan berpendidikan tinggi. Bukan cuman lulusan SMA."

"Ibu menyindir saya?" tanya Ranita langsung tanpa basa-basi.

"Enggak. Tapi ya bagus kalau memang kamu merasa tersindir."

Sore itu seketika hati Ranita langsung menjadi panas. Baru saja dia pulang menginjakkan kaki di rumah mertuanya itu. Sudah ada saja ulah mertuanya.

"Gimana cari lowongan kerjanya Ran? Ada yang mau menerima kamu?" tanya Arif. Belum sempat Ranita menjawab, mertuanya Ranita  sudah lebih dulu menyahut.

"Oalah Rif, kok pake acara ditanya segala. Lah emang ada yang mau nerima perempuan cuman tamatan SMA? Kalau yang ngelamar kerja modelan seperti Aliya sih iya memang. Pasti bakal banyak yang nerima. Tapi buat apa lagi Aliya cari kerja ya? Kan Aliya statusnya juga udah dosen PNS. Pe, en, es." 

Mertua Ranita sengaja memperjelas status Aliya. Sementara yang dipuji-puji, sibuk merapikan posisi duduknya. Menikmati setiap pujian itu.

"Siapa bilang Bu?" Ranita mengeluarkan kartu tanda pengenal pemberian HRD Hera. 

"Lihat ini!" ucap Ranita sambil memamerkan tanda pengenal itu. 

Arif yang penasaran langsung mengambilnya.

"PT. Kintas Gempita Jaya? Hah PT. KGJ? Kamu dapet kerja di perusahaan KGJ? SERIUS? Ini perusahaan ternama loh. Aku saja dulu pernah melamar di sini tapi tidak keterima." Arif mengucek matanya, tak percaya dengan apa yang ia baca.

Tangan mertua Ranita langsung merebut kartu tanda pengenal itu. Membacanya, lalu tersenyum sinis.

"Halah, statusnya cuman pegawai magang doang. Paling juga enggak digaji, cuman buat pengalaman. Yakan?"

"Magangnya satu Minggu aja kok Bu. Habis itu Ranita akan langsung diangkat jadi pegawai tetap. Namanya pegawai baru, ya pasti pakai acara magang dulu, pelatihan dulu, masa iya langsung jadi pinter? Jangan khawatir, Ranita juga akan digaji kok Bu. Malahan nanti gaji aku bakalan bisa lebih besar daripada gaji Bang Arif. Atau malah lebih besar dari gaji pe, en, esssssss."

Mata Ranita melirik ke arah Aliya yang memasang wajah cemberut. Tampaknya wanita itu tak suka dengan fakta jika Ranita mendapatkan pekerjaan di PT. KGJ.

"Oh ya, Mbak Aliya ngapain ke sini ya?" tanya Ranita yang membelokkan arah pembicaraan.

"Saya cuman lagi main aja Ran. Kangen sama ibunya Arif. Soalnya dulu waktu SMA saya sering loh main ke rumah ini. Ya cuman sayang, semenjak jadi dosen, saya sibuk sekali, jadi jarang mampir."

"Duh iya ya Al? Dulu kamu padahal sering ke sini. Makanya mulai sekarang, kamu harus rajin-rajin main ke sini ya."

"Main kok ke rumah suami orang sih?" 

"Hush! Kamu ngomong apa sih Ranita?"

"Eh, enggak Bu, enggak apa-apa."

Ranita mengambil kursi plastik lalu ikut duduk bersama. Mertuanya langsung melotot.

"Lah kamu ngapain kok duduk di sini Ranita?"

"Emangnya kenapa Bu? Bang Arif juga duduk di sini. Kenapa Ranita enggak boleh duduk di sini?"

"Ibu sama Arif kan mau cerita-cerita sama Aliya."

"Nyeritain Ranita?"

"Dih, Ke-PD-an kamu."

"Ya terus kenapa Ranita enggak boleh duduk di sini?"

"Karena kerjaan kamu di dapur udah nunggu. Lihat sana di dapur. Tumpukan piring kotor sudah segunung. Halaman kita juga belum disapu. Jemuran belum diangkatin. Enak aja kamu main mau gabung duduk di sini."

"Ranita, kan capek Bu. Habis cari kerja. Masa enggak boleh istirahat bentar."

"Nih, dengerin ibu ya Ranita. Pasang kuping kamu baik-baik. Kamu boleh bekerja di luar sana. Jadi orang kantoran seperti yang kamu pengen. Tapi inget. Pekerjaan rumah juga jangan kamu lupakan. Itu semua masih tanggung jawab kamu sebagai istrinya Arif. Udah sana buruan ke belakang, cuci piring."

Dengan langkah gontai Ranita akhirnya menuju ke dapur. Ibu mertuanya tak bohong. Cucian piring kotor di dapur memang sudah segunung. Padahal tadi rencananya ia ingin rebahan dulu sejenak. Tubuhnya lumayan capek ke sana kemari cari kerja. Sayangnya tidak bisa. Pekerjaan rumah sudah menunggu.

Setelah mencuci piring, Ranita mengangkat jemuran. Di rumah mertuanya, Ranita sebenarnya tidak ada bedanya dengan pembantu. Semua pekerjaan rumah Ranita yang mengerjakan. Lihat saja pakaian yang dilipat Ranita sekarang. Semua itu bukan hanya pakaian miliknya dan milik suaminya. Tapi juga milik mertuanya.

Terkadang Ranita merasa jika jadi pembantu itu  lebih baik daripada diperlakukan seperti ini. Setidaknya seorang pembantu dibayar setiap kali membereskan rumah. Lah dia? Semua tenaganya keluar secara gratis tanpa bayaran sama sekali.

Inilah salah satu alasan mengapa Ranita tak betah tinggal di rumah mertuanya. Jika saja dia hanya tinggal berdua dengan Arif, pasti ceritanya akan berbeda. Ranita hanya perlu melipat pakaian Arif, mencuci bekas makan Arif bukan malah seperti sekarang. Semua dia yang kerjakan.

GeDUBRAK!

"AAaa"

Ranita kaget, pasalnya terdengar suara teriakan dari arah kamar mandi. Arif, Aliya dan ibu mertuanya juga mendengar teriakan itu. Semuanya langsung menuju ke arah kamar mandi. Terlihat bapak mertua Ranita yang terduduk di lantai kamar mandi dalam keadaan lemas. Mulutnya tampak meringis kesakitan.

"Ya ampun Pak! Bapak kenapa?" tanya ibu mertuanya Ranita.

"Bapak kepleset Bu. Lantai kamar mandinya licin sekali."

Arif membantu bapaknya untuk berdiri.

"Ranita! Kamu gimana sih? Lantai kamar mandi kita kok bisa sampai licin seperti ini? Kamu sikat dong. Dari tadi kerjaan kamu ngapain aja?"

"Kan Ranita nyuci piring Bu. Ngangkat jemuran juga. Ini malah masih melipat pakaian. Ibu, bapak atau Bang Arif harusnya bisa dong bantu menyikat lantai kamar mandi. Inikan kamar mandi kita bersama. Kenapa harus Ranita sendiri yang menyikat lantainya?"

"Ya karena kamu yang menumpang di rumah ini."

Degh!

Jantung Ranita langsung berdebar kencang mendengar perkataan ibu mertuanya itu. Ia merasa malu karena perkataan itu didengar oleh Aliya. Aliya malah tampak menyunggingkan senyum. Seolah senang jika Ranita hanya dianggap menumpang. 

"Apa ibu bilang tadi? Menumpang? Bang Arif, bela aku Bang. Bela aku," ucap Ranita dalam hatinya. Ia berharap Arif  angkat bicara dan membela dirinya. Tapi apa yang terjadi sekarang? Arif justru hanya bungkam. Membiarkan mulut orangtuanya menyakiti hati istrinya begitu saja. 

Ranita yang tak tahan lagi akhirnya pergi ke kamar. Ia meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Pakaian yang banyak belum dilipat ia abaikan. Ranita menangis di dalam kamar. Ia berjanji jika suatu saat nanti ia akan membungkam mulut mertuanya itu. Enak saja dia mengatakan jika Ranita hanya menumpang, padahal Ranita sudah seperti babu. 

"Awas saja kalian semua!" ucap Ranita sambil menatap dirinya sendiri di depan cermin. (Tamat).
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Terjemahkan ini