Karma Suami Pelit - ilov.eu.org Cerpen.

"Hari ini jadwalnya kamu USG kan, Yu, ini uwangnya." Mas Akmal tiba-tiba memberikan selembar uwang seratus ribuan di meja rias saat aku sedang menyisir rambut.


"Kok seratus sih mas, mana cukup buat USG." Aku mendengus kesal, seratus ribu mana dapat untuk USG di rumah sakit.

"Ya kan seperti biasa, biaya USG dibagi dua."

"Tapi ini belum termasuk vitaminnya." Aku menatap ke arahnya yang sedang memakai baju kerja.

"Kan yang minum vitaminnya kamu, bukan aku,  kenapa jadi aku yang harus bayar, yang sehat kamu, manfaatnya juga untuk kamu, malah aku yang disuruh bayar. Oh ya masih kurang 50 ribu yah, besok lah, nggak ada 50 ribuan." Mas Akmal lalu keluar dari kamar, aku paham taktiknya menghindari perdebatan soal uwang.

Sering dia seperti ini, 50 ribu nya nanti, tapi nyatanya tak dibayar juga, kalau ditagih katanya pelit banget sih sama suami. Aneh sekali, kenapa jadi dia yang menganggapku pelit.

Aku menyusul mas Akmal, bukan untuk berdebat lagi, lelah rasanya, masih pagi, energi untuk kerja hari ini tak mau terbuang sia-sia. Ternyata suamiku sedang makan dengan hikmat, sambil menonton televisi.

"Mas mau ikut nggak ke dokter?"

"Ikut, sebentar lagi kan akan menghadapi persalinan, aku mau tahu biayanya berapa."

Aku tersenyum senang karena mas Akmal peduli dengan  persalinanku nanti, dia ingin menanyakan biaya itu artinya sudah ingin menyiapkan juga dana nya.

"Semoga masih terjangkau ya mas."

"Iya, kalau aku tahu pasti kan biar kita bisa membaginya secara adil, biar kamu nggak korupsi, seperti kebanyakan istri di luar sana, suka melebih-lebihkan nominal yang dibutuhkan."

Astaga, senyumku langsung lenyap begitu saja mendengar penuturan mas Akmal, terlalu berekspektasi tinggi padanya membuat dada ini sesak.

Aku korupsi? yang ada justru mas Akmal yang sering meminjam uwangku. Sulit rasanya korupsi pada suami modelan mas Akmal. Terkadang para istri di luar sana juga meminta jatah uwang lebih karena banyak kebutuhan yang tak terduga di luar perhitungan.

"Kamu yang harus bayar full lahiran ini mas. Ini an4kmu."

"Yang mau punya an4k kan kamu."

Aku menghela nafas, "Aku katamu? yang bikin hamil kan kamu, nggak mungkin aku bisa hamil kalau kamu nggak berbuat."

Kesal sudah menyelimuti hati, aku tak jadi sarapan, memilih untuk kembali lagi ke kamar mengambil tas, lalu bergegas menuju kantor. Mas Akmal tak mengejar atau menanyakan, dia tampak biasa saja melihatku berlalu melewatinya.

Tak pernah lelah aku mendoakan agar suamiku berubah, dilembutkan hatinya agar bisa menafkahi dengan baik, ikhlas sepenuh hati, delapan bulan ini rasanya cukup menyesakkan dada, berharap kedepannya bisa diberikan sabar yang lebih.

***

Sore harinya mas Akmal menjemputku ke kantor karena hari ini sudah berencana akan ke dokter kandungan. Beberapa teman-teman merasa ingin jadi sepertiku karena memiliki suami yang tampan dan perhatian, menjemput istrinya bekerja. Ah andai kalian jadi aku, rasanya pahit sekali.

Kami bergegas ke rumah sakit. Sesampainya di sana ada wanita yang menyapa mas Akmal di parkiran, wanita itu juga sedang hamil sepertinya, tapi tak sebesar perutku. Dia bersama dengan suaminya juga.

"Siapa mas?" Aku penasaran, wanita itu tampak menyapa ramah mas Akmal, tapi tidak dengan respon mas Akmal yang ogah-ogahan, bagus sih menurutku.

"Teman, cuma teman."

Dahiku mengernyit, kenapa harus diperjelas, cuma teman. Berlebihan sekali. Dibagian pendaftaran kami bertemu lagi dengan wanita itu. Aku tersenyum ramah.

"Kamu daftar aja sendiri, aku mau beli minum," kata mas Akmal yang langsung meninggalkanku begitu saja.

Perempuan itu mendekat ke arahku lalu bertanya lirih. "Kamu istrinya Akmal?"

"Ah iya mbak, mbak temannya mas Akmal ya? teman sekolah apa teman kerja?" Mumpung mas Akmal tidak ada, aku ingin tahu dari perempuan itu sendiri.

"Mas, handphone aku ketinggalan di mobil deh." Perempuan itu tiba-tiba meminta tolong suaminya untuk mengambilkan ponselnya.

"Aku Laras, Mas Akmal itu mantan pacarku mbak, maaf yah. Oh ya kenapa mbak nya mau sih jadi istri mas Akmal?"

Aku terkejut, berarti jawaban mas Akmal bohong. Ternyata perempuan itu adalah mantannya, pantas saja terkesan menghindari.

"Ya memangnya kenapa harus nggak mau nikah sama mas Akmal?" Pertanyaan Laras aneh, maka dari itu aku jadi menanyakan balik.

"Kan mas Akmal..."

Belum sempat menjawab, tiba-tiba mas Akmal buru-buru menghampiri. Lalu mengajakku sedikit menjauh dari Laras. 

"Kamu ngobrol apa sama dia? lebih baik jangan akrab sama sembarang orang, gampang dihipnotis nanti," ucapnya menasehati. Mas Akmal terlihat menunjukkan ekspresi tak suka ketika melihatku mengobrol dengan Laras.

"Itu bukan sembarang orang, melainkan mantanmu kan mas." Wajah mas Akmal langsung terkejut.

"Kamu ngobrol apa aja sama dia?"

"Nggak banyak, cuma saling tanya berapa usia kandungan kami," jawabku dusta. Ah rasa penasaran semakin menjadi, andai saja suamiku tak datang lebih awal, ingin sekali rasanya melanjutkan obrolan dengan Laras mengenai pembahasan yang mencurigakan tadi.

"Dia yang mengakui aku mantannya, tapi tidak dengan aku." Mas Akmal berlalu, berjalan lebih dulu menuju ruang tunggu dokter kandungan.

Apa sebegitu populernya suamiku, sehingga ada wanita cantik yang mengaku mantan pacarnya tapi dia tak mengakui?

Aku berjalan menyusul mas Akmal, lelaki itu tengah duduk sambil membawa satu botol air mineral, hanya satu botol, tentu saja untuk dirinya, tak mungkin membelikannya untukku.

"Beli cuma satu, aku kan lagi hamil mas, kenapa nggak dibelikan sekalian sih," gumamku yang semoga saja terdengar sampai telinga mas Akmal.

"Hamil selalu jadi alasan, sebotol berdua kan bisa."

"Biar romantis ya mas?"

Mas Akmal melirikku. "Biar irit."

Astaga, jawaban yang seharusnya sudah bisa aku prediksi, kenapa masih saja berfikir positif jika mengenai uwang.

Antrian hari ini tak begitu banyak, mungkin karena bukan weekend, jadi aku dan mas Akmal tak sampai menunggu berjam-jam juga sudah dipanggil untuk diperiksa.

Seperti biasa suster yang membantu dokter Heri akan mempersilahkanku menuju bad tempat dilakukan USG.

Setelah diperiksa semuanya dokter memberitahu jika kandunganku sehat, lalu aku dan mas Akmal diberikan edukasi agar bisa melahirkan secara normal. Mas Akmal begitu serius ketika mendengar dokter Heri, tapi entahlah nanti prakteknya dilakukan atau tidak.

"Mau tanya dok, kalau persalinan di sini biayanya berapa yah?"

Aku menghela nafas, ternyata mas Akmal benar menanyakan biaya persalinan hari ini. Dokter lalu memberikan brosur harga persalinan di rumah sakit ini. Mas Akmal memasukannya ke dalam saku kemejanya.

Selesai diperiksa dan mengambil vitamin, mas Akmal langsung mengajakku pulang. Aku memberikan kwitansi padanya.

"Lihat, 500 ribu. Uwang dari kamu kurang banyak mas."

"Lagian vitamin apa aja sih sampai mahal banget." Mas Akmal membuka kantong plastik yang berisi vitamin. "Asam folat, DHA, CDR, pantes mahal, kamu nggak bisa nego apa, nggak usah ini dan itu, asam folat aja kaya biasanya."

"Mas ini rumah sakit, bukan pasar lokal, nggak ada transaksi tawar menawar, kamu ini ada-ada aja." Aku duduk miring, sengaja membelakangi mas Akmal.

"Kamu yang minum, aku yang di suruh bayar, nanti yang sehat bugar kamu."

"Ya sudah kamu saja yang minum, Mas," ceplosku. Lelaki itu lupa atau bagaimana, kalau aku sakit, siapa yang akan menyiapkan perbekalannya. Siapa yang akan menyiapkan baju kerjanya. Bukannya senang istri sehat, malah seperti menyesal. Aneh sekali.

Sesampainya di rumah sakit, mas Akmal membaca brosur yang diberikan dokter Heri tadi mengenai biaya persalinan di rumah sakit.

"Mahal juga, lahiran normal 5 juta, sesar 13 juta. Rahayu, kamu harus bisa lahiran normal biar hemat biaya," celetuk mas Akmal dengan entengnya.

"Ya terserah Allah saja, yang terpenting dua-duanya selamat."

"Tapi kalau sesar mahal banget, sayang banget uwangnya, kerja siang malam malah uwangnya buat dokter Heri, enak banget jadi dia." Mas Akmal mulai mengoceh tak jelas. Pola pikirnya  sungguh aneh, tidak seperti manusia pada umumnya.

"Ya udahlah, kan bisa pakai BPJS, nanti lahiran di UGD saja kalau mas nggak mau bayarin." Aku tak mau ambil pusing jika ada alternatif yang lebih baik, dari pada berdebat dengan mas Akmal, pasti tidak akan ada ujungnya.

"Janganlah, apa kata teman-teman kerjaku nanti, bisa dicemooh karena lahiran pakai BPJS, solusi dari kamu bikin harga diri aku runtuh tahu nggak."

"Terserah kamu lah mas, kamu emang suka banget yang ribet-ribet, heran deh aku."

Eh dia melirikku. "Yang ribet itu perempuan."

"Dih... "

"Bayar sendiri kalau kamu sampai melahirkan secara caesar," ucap mas Akmal.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Terjemahkan ini