KARENA AKU MISKIN | Cerpen Yang Menyentuh Hati
(Sudah tamat di kbm app dan joylada. Tersedia juga dalam bentuk pdf murah)
Part 1
"Bu bidan! Bu bidan tolong anak saya!"
Seorang ibu muda berteriak histeris seraya menggedor kuat pintu rumah Bidan Ningrum.
Tok! Tok! Tok!
"Ya Allah, Bu! Bu, tolong anak saya!" pekiknya lagi.
Tak peduli dini hari, wanita itu terus berteriak histeris. Ia menatap bergantian antara pintu dan bayi dalam gendongannya.
Bayi berusia tiga bulan itu tak lagi menangis, ia hanya merintih lemah dengan mata terpejam.
Brak! Brak! Brak!
"Bu, tolong buka!"
Wanita muda bernama Agustina itu kembali menggedor, ia bagai orang kesetanan di tengah malam buta.
Tap!
Lampu dalam rumah akhirnya menyala, langkah kaki tergopoh juga terdengar mendekati pintu.
Ceklek!
Pintu terbuka, Bidan Ningrum melongok dengan mata sayu, khas orang yang terbangun dari tidur karena rasa kagetnya.
"Ayo masuk!" ucapnya lembut dan serak, tak ada raut kesal di wajahnya.
Tanpa menunggu perintah dua kali Agustina langsung masuk, ia mengekor di belakang Bidan Ningrum yang berjalan ke ruang praktiknya.
"Anak saya, Bu," lirih Tina dengan bercucuran air mata.
"Baringkan di sini!" titah bidan senior berwajah sendu itu.
Tina menurut, ia membaringkan bayinya yang terlihat semakin lemah itu.
Bidan Ningrum membeliak, ia segera memeriksa bayi yang merintih tersebut.
Ditekannya pelan perut sang bayi. Ia juga turut memeriksa diaper yang digunakan oleh bayi tersebut.
Bidan itu menghela napas, ia bergeser ke arah lemari lalu mengeluarkan sebuah biskuit dari sana.
"Makan dulu, Nak!" ucapnya tenang.
Dahi Agustina mengernyit, tetapi tak urung dia menurut juga. Diambilnya biskuit tersebut lalu mulai melahap satu persatu.
Sementara Bidan Ningrum mengambil diapers baru, lalu mulai mengganti diapers anak Tina yang telah ternoda kotoran bercampur darah itu.
"Sudah berapa lama bayimu diare, Nak?" tanyanya pelan.
"Se--sejak kemaren, Bu," jawab Tina pelan.
Bidan itu menghela napas.
"Kenapa baru dibawa sekarang? Bayimu ini sudah sangat lemah, dia kekurangan cairan, dan perutnya sudah kembung!" ucapnya.
Agustina terdiam, ia tak berani menjawab. Tangannya sibuk meremas bungkus roti yang telah kosong di tangannya.
"Uang bisa dicari tapi nyawa tak ada ganti! Lain kali jangan fikirkan apapun, keselamatan anak adalah yang utama!" ucap bidan paruh baya itu seolah bisa membaca fikiran Tina.
Bayi kecil itu dibaluri minyak telon, tubuhnya dibedong agar hangat.
"Susui anakmu, saya ke belakang sebentar!" ucapnya.
Tina mengangguk ragu, ia mengambil bayi Asyraf di tangan bidan itu lalu mendekatkan pada dad*nya.
Takut-takut ia membuka kancing baju, kejadian di rumah kembali terbayang.
"Coba dulu, jangan ragu! Tarik napas, hembus perlahan! Tenang, biar asimu mengalir lancar!" titah Bidan itu lagi.
Agustina memejamkan mata, ia menuruti perintah bidan tersebut. Pelan, ia mendekatkan mulut bayi Asyraf pada dad*nya.
Air matanya bercucuran saat merasakan nyeri, pertanda asi mengalir. Ia semakin tergugu ketika melihat bayinya menyedot sangat kencang.
Ia diam menikmati anaknya mengambil nutrisi tak seberapa dari tubuh ringkihnya. Sesekali isaknya lolos dari mulut saat kenyotan sang anak terlepas dan lekas ditangkap kembali oleh bayi itu.
"Oweek! Oweeek!" Tiba-tiba bayi itu menangis, suaranya parau karena terlalu lama menjerit.
Hal yang ditakutkan Tina kembali terjadi, asinya lagi-lagi berhenti mengalir. Membuat sang anak yang belum kenyang meronta menagih haknya.
"Berikan ini, semoga dia mau," ucap bidan Ningrum yang telah kembali masuk.
Tina menoleh ke arah bidan baik hati yang membawa dot berisi susu tersebut.
"Ambillah, Nak, kasihan bayimu!" titah Bidan itu lagi.
Agustina menerima botol dot tersebut lalu mendekatkan ke mulut bayinya. Bayi berusia tiga bulan itu langsung menyedot dengan cepat.
Awalnya ia menolak karena belum terbiasa, tetapi lama-lama akhirnya ia mau juga. Bayi Asyraf menyedot habis susu dalam dot tersebut.
"Tidurkan di ranjang, kamu makan dulu!" ucap bidan itu lagi.
Agustina menurut, ia merasa segan membantah wanita berhati bak malaikat tersebut.
Bayi Asyraf yang tertidur karena kekenyangan dibaringkan di atas ranjang. Ia langsung mengambil piring nasi dengan lauk lengkap itu.
Air matanya kembali bercucuran. Ia yang sudah tiga hari tidak merasakan nasi langsung tergugu saat merasai makanan pokok tersebut.
Bidan Ningrum mengusap pelan bahunya. Ia terus menemani wanita malang itu hingga menyelesaikan makannya.
"Maaf, Bu Bidan, saya telah mengganggu ibu malam-malam begini," ucap Tina setelah agak tenang.
Bidan Ningrum mengangguk, ia siap mendengar penuturan wanita muda di hadapannya.
"Sebenarnya asi saya sudah tiga hari belakangan seret. Asyraf terus menangis karena kelaparan, akhirnya saya kasih air gula. Setelah itu ia malah diare, terakhir tadi sampai keluar bercak-bercah darah," ucap Tina menjelaskan. Air matanya kembali menetes.
Bidan Ningrum mengucap istigfar lirih.
"Tiga hari belakangan kamu makan dengan lauk apa?" tanyanya memastikan.
Tina terdiam sejenak, ia berat untuk menjawab dengan jujur.
"Katakan, Nak!"
"Sa--saya hanya makan mie instan, Bu," lirihnya terbata.
"Lailahaillallah!" Bu Bidan terpekik, ia langsung mendekap tubuh ringkih itu.
Perlakuan bidan senior itu malah membuat Tina kembali sedih. Ia tak bisa menahan tangisnya.
Berbagai kejadian kemaren kembali terbayang, ia bahkan teringat ucapan menyakitkan saudara kandungnya.
"Jangan minta pinjaman padaku, aku bukan bank keliling!" ketus abangnya.
"Iya, sekarang nggak ada waktu untuk mikirin perut orang lain! Tak ada saudara-saudara jika masalah uang!" timpal adiknya.
Bersambung...🤝